BIENVENUE

Selamat datang di blog saya! Semoga isi didalamnnya bisa membantu anda !

ALAM SEKITAR

ALAM SEKITAR

Jumat, 05 Maret 2010

REFRENSI

Patriotisme & Nilai Kemanusiaan

Kategori Sosial
Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 18 Februari 2004

Pemilu 2004 semakin dekat, tema sentral yang akan mengemuka antara lain: "atas nama rakyat, demi bangsa dan sebagainya". Ditengah beragamnya semangat anak bangsa khususnya generasi baru dalam menyambut pemilu 2004, ijinkanlah penulis mengajukan satu tema sentral kebangsaan yang mestinya tidak boleh ditinggalkan bangsa ini, yakni Patriotisme.

Sebagian besar dari kita mungkin akan langsung mengkaitkan satu tema ini dengan kerelaan seseorang untuk berkorban di medan perang demi negara tercinta. Hal ini tentu saja tidak salah. Namun demikian, setelah merdeka maka tentu saja nuansa "rela berkorban" dapat diartikan secara lebih dari sekedar kerelaan untuk mati di medan perang seperti ketika jaman perjuangan kemerdekaan dahulu. Selain itu, kita juga tidak bisa melupakan tema lain yang juga menjadi sentral dalam pembahasan kebangsaan, yakni Nasionalisme. Tidak sedikit dari kita yang menyamakan arti patriotisme dan nasionalisme, atau memadukannya.

Psikologi sosial, sebagai cabang dari ilmu psikologi yang menekankan pada hubungan atau interaksi baik antar individu atau kelompok, juga tidak luput membahas masalah ini. Dalam artikel singkat ini saya ingin mencoba untuk memberikan pemahaman tentang apa sebenarnya arti patriotisme dan hal-hal apa saja yang harus dijunjung oleh seseorang untuk bisa disebut sebagai seorang patriot sejati.

Patriotisme & Nasionalisme

Beberapa tokoh seperti Blank (2003) & Schmidt (2003) melalui studi mereka mendukung pendapat bahwa patriotisme tidak sama dengan nasionalisme. Nasionalisme lebih bernuansa dominasi, superioritas atas kelompok bangsa lain. Tingkat nasionalisme suatu kelompok atau bangsa, ditekankan pada adanya perasaan "lebih" atas bangsa lain .

Dibandingkan dengan nasionalisme, patriotisme lebih berbicara akan cinta dan loyalitas. Patriotisme memiliki beberapa dimensi dengan berbagai istilah, namun Staub (1997) membagi patriotisme dalam dua bagian yakni blind dan constructive patriotism (patriotisme buta dan patriotisme konstruktif). Sementara Bar-Tal (1997) menyisipkan conventional patriotism diantaranya.

Staub menyatakan patriotisme sebagai sebuah keterikatan (attachment) seseorang pada kelompoknya (suku, bangsa, partai politik, dan sebagainya). Keterikatan ini meliputi kerelaan seseorang dalam mengidentifikasikan dirinya pada suatu kelompok sosial (attachment) untuk selanjutnya menjadi loyal.

Dari rentetan sejarah pemahaman patriotisme, nampaknya patriotisme yang kemudian populer dan dikenal masyarakat luas, tidak hanya di Indonesia, namun juga di dunia ialah blind patriotism. Hal ini mendorong Staub juga Bar-tal menghimbau dalam bukunya, "Patriotism-in the lives of individuals and nations", untuk mempopulerkan dimensi patriotisme yang semestinya lebih merasuk yaitu constructive patriotism.

Patriotisme buta didefinisikan sebagai sebuah kerikatan kepada negara dengan ciri khas tidak mempertanyakan segala sesuatu, loyal dan tidak toleran terhadap kritik. "Blind patriotism is defined as an attachment to country characterized by unquestioning positif evaluation, staunch allegiance, and intolerance of critism".(Staub: 1997).

Melihat definisi tersebut, dimana patriotisme buta dengan ciri khas menuntut tidak adanya evaluasi positif dan tidak toleran terhadap kritik, mungkin akan lebih mudah dipahami jika kita ingat akan pernyataan yang pernah sangat populer: "Right or wrong is my country!". Pernyataan ini tanpa perlu dipertanyakan lagi memberikan implikasi bahwa apapun yang dilakukan kelompok (bangsa) saya, haruslah didukung sepenuhnya, terlepas dari benar atau salah. Hal ini telah disadari Bar-Tal sebagai pemicu awal totaliterisme atau chauvinisme. Sementara sejarah telah mencatat konsekuensi buruk yang dihasilkan, sebut saja Nazi-Jerman, Mussolini-Itali. Pembantaian orang tak berdosa namun berseberangan dengan pandangan politik pemimpin menjadi legal atas nama patriotisme, nasionalisme pun ikut diseret di dalamnya sehingga bangsa lain pun bisa menjadi sasaran.

Staub juga menyatakan bahwa blind patriotism tidak saja berakibat buruk bagi kelompok luar (outgroup), namun juga membahayakan kelompoknya sendiri (ingroup). Tidak adanya kritik maupun evaluasi sama saja dengan membiarkan kelompok berjalan tanpa peta, hingga bisa terpeleset dan masuk jurang.

Patriotisme konstruktif didefinisikan sebagai sebuah keterikatan kepada bangsa dan negara dengan ciri khas mendukung adanya kritik dan pertanyaan dari anggotanya terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan / terjadi sehingga diperoleh suatu perubahan positif guna mencapai kesejahteraan bersama. "Constructive patriotism is defined as an attachment to country characterized by support for questioning and critism of current group practices that are intended to result in positive change." (Schatz, Staub, Lavine,1999). Sementara patriotisme konstruktif juga tetap menuntut kesetiaan dan kecintaan anggota (rakyat) kelompoknya (bangsa), namun tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pandangan ini, pemimpin tidak selamanya benar, bahkan sebutan orang tidak patriotis oleh seorang pemimpin bisa jadi berarti sebaliknya. Kritik dan evaluasi terhadap kelompok yang dicintai seseorang justru merupakan bentuk kesetiaannya. Kritik dan evaluasi ini bertujuan untuk menjaga agar kelompoknya tetap pada jalur yang benar atau positif.

Selain hal di atas, dalam patriotisme konstruktif terdapat 2 (dua) faktor penting yaitu mencintai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Seorang yang layak disebut patriot adalah orang yang menjunjung dan mencintai kelompok baik itu kelompok partai atau bangsa atau negara, namun lebih dari itu ia juga harus menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Disinilah diperlukan sikap peduli yang muncul dalam kritik dan evaluasi.

Indonesia dan Patriotisme Konstruktif

Indonesia telah mulai belajar menerima dan memahami perbedaan sesungguhnya dengan lebih terbuka. Patriotisme konstruktif juga membutuhkan keterlibatan politik dalam arti luas. Tidak berarti harus tergabung dalam politik praktis, melainkan adanya aktivitas untuk mendapatkan informasi politik atau hal-hal yang berkaitan dengan kelompoknya. Dengan lebih mengenal kelompoknya baik karakteristik maupun permasalahannya, akan memudahkan seseorang untuk bisa lebih pedulli atau terlibat, termasuk mengkritisi untuk menghasilkan perubahan positif.

Terkait dengan pelaksanaan pemilu 2004 yang semakin dekat, penulis melihat dalam suasana kampanye mendatang, akan sangat memungkinkan munculnya outgroup derogation terhadap kelompok lain, terbukti pada waktu lalu di Bali dengan adanya bentrokan antara 2 (dua) massa pendukung partai. Bentrokan antar massa pendukung inilah yang harus diwaspadai oleh para pucuk pimpinan partai. Kecintaan pada kelompok (ingroup favoritism) hendaklah tidak disertai dengan penilaian negatif terhadap kelompok lain (outgroup derogation). Dengan demikian masing-masing pihak akan terhindar dari patriotisme buta yang bisa berakibat fatal bagi semua pihak.

Menghadapi permasalahan ini, nilai-nilai kemanusiaan yang disodorkan Staub dalam patriotisme konstruktif kemudian menjadi alternatif yang harus dipertimbangkan. Diatas semua kepentingan kelompok, ada kepentingan lain yang lebih besar dan mendasar, yakni terpelihara serta dijunjung tingginya nilai-nilai kemanusiaan dalam berkompetisi. Sehebat apapun kelompok partai yang didukung, haruslah diingat dan dihayati betul besarnya nilai-nilai kemanusiaan. Jika ini ditanamkan pada setiap pribadi terutama dalam konteks ini adalah tiap partai politik, maka pemilu 2004 dan pemilu selanjutnya akan menjadi pesta demokrasi yang akan selalu dinantikan rakyat Indonesia.

Penutup

Semoga kecintaan anak bangsa terhadap Indonesia atau kelompok sosial lainnya bukanlah "cinta buta", sehingga bangsa ini meski perlahan namun pasti bisa beranjak bangkit dan menegakkan kepala di tengah dunia internasional. Selamat menyongsong pesta demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar